Kesejahteraan
dan penghidupan yang layak mungkin hanya
khayalan dan impian saja bagi penduduk negeri yang di juliki jamrud
khatulistiwa ini. Betapa tidak, keadaan dan kehidupan rakyatnya masih sangat
jauh dari kata tenang dan sejahtera. Berbagai macam permasalahan yang
melibatkan rakyatnya sering terjadi dan ironisnya tidak ada pembelaan dari
pemerintah untuk rakyatnya sendiri.
Pernyataan
di atas bukan tanpa alasan, banyak fakta terkait
yang bisa merepresentasikan pernyataan di atas, misalnya kasus yang akhir-akhir
ini muncul dalam pemberitaan berkaitan dengan sengketa tanah. Ternyata, kasus
sengketa tanah ini tidak hanya terjadi saat ini saja tapi sudah dari dulu
bahkan dari masa orde baru pun sudah muncul dan sampai saat ini belum selesai.
Misalnya
kasus sengketa tanah di Mesuji, Sape, Bima, Sungai Sodong, dan di daerah
lainnya karena masih banyak wilayah dengan kasus yang serupa. Berdasarkan data Badan Pertanahan
Nasional (BPN) terdapat 13.000 kasus sengketa tanah di Indonesia belum
terselesaikan (Nasional..kontan.co.id,
14/6/2011).
Periode Januari 2011 hingga Juni 2011, baru sekitar 1.333 dari 14.337 perkara
tanah yang terselesaikan. Hingga akhir Tahun 2010, terkumpul kasus-kasus
pertanahan sebanyak 12.267 perkara
pertanahan. Kemudian, akhir Juni 2011 perkara pertanahan bertambah 2110
perkara, sehingga total perkara adalah 14.337 perkara. (Nasional..kontan.co.id, 14/6/2011).
Adapun daftar beberapa kasus
sengketa tanah serta kronologisnya dalam kurun waktu 5 tahun terakhir:
No
|
Waktu
|
Konflik
|
Kronologi
|
1.
|
September
2006
|
Pedagang
pasar lama dengan TNI AD
|
Tanah
pasar kembangsari lama, desa karangduren, tengaran, semarang, yang dihuni 83
keluarga dan ditempati 500 pedagang diklaim oleh TNI AD yang akan
menggunakannya untuk pembangunan infrasrtuktur bangunan TNI AD. Seluruh
pedagang dipindah ke pasar kembangsari baru. Pedagang menolak dan melakukan
demonstrasi.
|
2.
|
Januari
2007
|
Warga
desa sukamulya dengan TNI AU
|
Warga
desa sukamulya, kecamatan rumpin, bogor terlibat bentrokan dengan aparat TNI
AU terkait sengketa lahan di kawasan rumpin yang sedang dibangun proyek
“water trining” TNI AU. Warga menganggap TNI AU menyerobot tanah mereka.
|
3.
|
Mei
2007
|
Masyarakat
desa tlogo, lekok, pasuruan, jawa timur, dengan prajurit mariner TNI AL
|
Lahan
seluas 539 hasejak 1960 sudah dibeli oleh TNI AL untuk dijadikan pusat
pendidikan TNI AL. namun, sampai sekarang pusat pendidikan tersebut tidak
dibangun, tetapi disewakan kepada PT rajawali nusantara untuk areal
perkebunan. Masyarakat merasa dibohongi dan puncaknya terjadi bentrokan,
mengakibatkan 4 warga tewas dan 8 orang luka-luka tertembak prajurit mariner
TNI AL
|
4.
|
16
November 2009
|
Masyarakat desa sekitar hutan dengan Perhutani
dan pengelola taman hutan rakyat (Tahura).
|
Masyarakat yang bermukim di sekitar area hutan
meminta adanya garis batas tanah yang jelas. Garis batas tanah ini
menunjukkan mana tanah yang masuk wilayah rakyat atau Perhutani atau
pengelola Tahura dan yang dikelola oleh warga.
|
5.
|
2009-2011
|
Lembaga adat Megoupak dengan PT. Silva Inhutani
|
Sebuah
PT. Silva Inhutani milik warga Negara Malaysia bermaksud melakukan
perluasan lahan, dilakukan sejak tahun 2003, namun upaya PT. Silva Inhutani
membuka lahan untuk menanam kelapa sawit dan karet selalu ditentang penduduk
setempat. Akhirnya PT. Silva Inhutani membentuk PAM Swakarsa yang juga
dibekingi aparat kepolisian untuk mengusir penduduk. Pascaadanya PAM Swakarsa
terjadilah beberapa pembantaian sadis dari tahun 2009 hingga 2011. Kurang lebih
30 orang sudah menjadi korban pembantaian sadis dengan cara ditembak,
disembelih dan disayat-sayat. Sementara ratusan orang mengalami luka-luka dan
diantara mereka ada yang mengalami trauma dan stres berat.
|
6.
|
14 april 2010
|
Warga koja
dengan Pemkot Jakarta Utara, polisi
dan satpol PP
|
Pemkot Jakarta
Utara melakukan penertibkan Kawasan Pemakaman Mbah Priok. Meminta piihak
keamanan untuk menertibkan tapi pihak Keamanan mengedepankan kekuasaannya,
pihak massa mengedepankan militansinya. Kekerasan diadu dengan kekeran.
Mengakibatkan dirawatnya ratusan korban di beberapa rumah sakit.
|
7.
|
21 Desember 2011
|
Masyarakat Sungai Sodong melakukan kerja sama dengan PT.
SWA
|
Pada
tahun 1997 terjadi perjanjian kerjasama antara PT. SWA dengan warga, terkait
dengan 564 bidang tanah seluas 1070 ha milik warga untuk diplasmakan.
Perjanjian tersebut untuk masa waktu 10 tahun, setelah itu akan dikembalikan
lagi pada warga. Selama kurun waktu 10 tahun, setiap tahunnya warga juga
dijanjikan akan mendapat kompensasi. Perusahaan ternyata tidak memenuhi
perjanjian tersebut. Akhirnya pada bulan april 2011 masyarakat sungai sodong
mengambil kembali tanah tersebut melalui pendudukan.
|
Dari beberapa daftar sengketa tanah di atas, tragedi Mesuji termasuk ke dalam 13 kasus sengketa tanah
yang menjadi fenomena gunung es di bidang pertahanan. Fenomena
ini terjadi berlarut-larut disebabkan karena ketidak mampuan baik pemerintah
pusat maupun pemerintah daerah untuk menyelesaikannya. Beberapa penyebab konflik sengketa tanah
dapat diidentifikasi, misalnya; pertama,
konflik lahan antara masyarakat adat dengan perusahaan perkebunan atau
perusahaan perhutani yang pada umumnya disebabkan karena ketidak jelasan status
hukum tanah yang dikuasai oleh masyarakat adat tidak sesuai dengan pandangan hukum
agrarian nasional. Konflik ini disinyalir akan berdampak pada penguasaan tanah
oleh perusahaan dengan landasan perusahaan sudah mempunyai bukti legal
(sertifikat) yang sah walaupun tanpa memperhatikan produktivitas tanah dengan
menelantarkannya bertahun-tahun. Ironisnya ketika masyarakt miskin mencoba memanfaatkan
lahan terlantar tersebut dengan menggarapnya - bahkan ada yang sampai puluhan
tahun - dengan gampanya mereka
dikalahkan haknya di pengadilan tatkala muncul sengketa.
Kedua,
konflik lahan yang berkaitan perambahan oleh masyarakat lokal ataupun
pendatang. Konflik ini akan mengakibatkan adanya ketidak harmonisan antara
masyarakat lokal dengan masyarakat pendatang. Dampak yang paling kentara adalah
adanya perpecaran diantara masyarakat yang akan menimbulkan rusaknya
kestabilitasan dan pertahanan Negara. Ketika konflik ini terjadi di
negeri-negeri Muslim maka bukan tidak mungkin secara tidak langsung akan
menjadi pintu masuk asing (penjajah) untuk memecah-belah kaum muslim sehingga
akhirnya penguasaan kekayaan oleh asing atau swasta yang ada di daerah konflik
tersebut menjadi jalan tengah konflik tersebut.
Ketiga,
konflik yang berkaitan dengan lingkungan hidup. Misalnya adanya penambangan
disuatu tempat disinyalir akan mengurangi debit air yang dibutuhkan masyarakat
karena ada penggalian atau penambangan disekitar sumber air tersebut. Karena
sumber airnya sudah dialih fungsikan menjadi area penambangan, hal ini
menyebabkan tidak ada lagi cadangan air buat kebutuhan masyarakat atau untuk
pengairan pertanian masyarakat, serta tidak jarang adanya pencemaran baik air,
tanah, ataupun udara sehingga menghambat produktifitas pertanian masyarakat.
Akar Masalah Adanya Sengketa Tanah
Sebenarnya apa
yang melatarbelakangi adanya kasus sengketa tanah ini? Mungkin ini salah satu
pertanyaan yang ada di benak
masyarakat. Dari sejumlah
data dan berbagai analisis terkait sengketa tanah ini terbagi ke dalam dua
factor utama, yaitu; pertama, orientasi agraria nasional lebih condong kepada kebijakan
yang bersifat neo liberal. Kedua,
penyelesesaian konflik yang terjadi lebih mengedepankan secara refresif
(kekerasan). Selain itu konflik sengketa lahan lebih rumit lagi dengan
melibatkan spekulan mafia tanah dan makelar.
Pertama,
kebijakan agraria nasional lebih condong kepada kebijakan neo-liberal, hal ini
bisa di lihat dari aturan yang di pakai oleh pemerintah dalam menyelesaikan
permasalahan agrarian ini. Rancangan Undang-Undang Pengadaan Lahan untuk
Pembangunan adalah salah satu buktinya. RUU ini telah disahkan oleh DRP pada
bulan Desember 2011. Undang-undang ini akan memberikan perlindungan kepada
pemilik lahan dari pengambil alihan yang sewenang-wenang. Namum jika
dianalisis, keberpihakan Undang-undang ini terhadap warga sangat disangsinkan.
Hal tersebut
kita lihat pada bagian C dalam UU PengadaanLlahan yang isinya: “bahwa
peraturan perundang-undangan di bidang pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan
umum belum dapat menjamin perolehan tanah untuk pelaksanaan pembangunan”. “Kepentingan umum” dalam UU ini masih bersifat absurd,
serta memiliki multi makna. Dengan ke
tidak jelasan ini, orang bisa saja mengatasnamakan kepentingan pribadi atau
golongan sebagai kepentingan umum, kata “kepentingan umum” ini di ulang pada
pasal 5,6,7, dan 8. Yang paling kentara absurdnya terlihat pada pasal 5 yaitu pemilik lahan
‘berkewajiban’ melepaskan kepemilikannya untuk kepentingan umum.
Nuansa neo-liberal ini diperkuat dengan pernyataan bahwa “semangat utama
Undang-Undang ini adalah untuk kepentingan pertumbuhan ekonomi” sebagaimana
dinyatakan Menteri Keuangan Agus Martowardojo yang mengharapkan UU Pengadaan Lahan dapat
melancarkan pembangunan proyek infrastruktur untuk mendukung pertumbuhan
ekonomi yang direncanakan mencapai tujuh hingga 7,7 persen pada 2014 mendatang.
UU tersebut diharapkan dapat memberikan kemudahan dalam pembangunan sarana
infrastruktur yang saat ini masih sering dipersulit karena ketiadaan
kesepakatan antara pemilik lahan dengan pemerintah (kompas.com, 16/12/2011).
Yang lebih kentara dari UU ini adalah pada pasal 12 yang
menyatakan bahwa pembangunan kepentingan umum “wajib diselenggarakan
Pemerintah dan dapat bekerja sama dengan Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha
Milik Daerah, atau Badan Usaha Swasta”. Dari sini menandakan bahwa keberpihakan pemerintah terhadap
swasta semakin terbuka lebar.
Yang lebih parah lagi kebijakan yang terdahulu terkait
kebijakan agraria yaitu yang di tetapkan dalam Ketetapan MPR No. IX/2001
tentang Pembaharuan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam, Undang-undang
Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok Agraria (pasal 9 ayat 2) yaitu “Tiap-tiap
warga-negara Indonesia, baik laki-laki maupun wanita mempunyai kesempatan yang
sama untuk memperoleh sesuatu hak atas tanah serta untuk mendapat manfaat dari
hasilnya, baik bagi diri sendiri maupun keluarganya”. Dari sini Semakin membuka swasta
untuk menguasai tanah. Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan
Daerah, dan Keppres No.34 Tahun 2003 tentang Kebijakan Nasional di Bidang
Pertanahan, pada dasarnya memberi kewenangan yang besar kepada pemerintah
daerah untuk menuntaskan masalah-masalah agraria nyatanya tidak menyelesaikan
permasalahan yang ada terkait sengketa tanah ini.
Serta merujuk pada PP No. 24/1997
tentang Pendaftaran Tanah (terutama pasal 2) Badan Pertanahan Nasional (BPN)
seharusnya dapat menerbitkan dokumen legal (sertifikat) yang dibutuhkan oleh
setiap warga negara dengan mekanisme yang mudah, terlebih lagi jika warga
negara yang bersangkutan sebelumnya telah memiliki bukti lama atas hak tanah
mereka. Namun sangat disayangkan pembuktian dokumen legal melalui sertifikasi
pun ternyata bukan solusi dalam kasus sengketa tanah. Seringkali sebidang tanah
memiliki sertifikat lebih dari satu, misalnya pada kasus Meruya. Bahkan, pada
beberapa kasus,, sertifikat yang telah diterbitkan pun kemudian bisa dianggap
aspro (asli tapi salah prosedur).
Kedua,
penyelesesaian konflik yang terjadi lebih mengedepankan secara refresif
(kekerasan). Cerita ini bukan hanya milik Rezim Orde Baru saja. pada masa sekarang
yang katanya sudah menyuarakan reformasi, berbagai bentuk intimidasi dan
kekerasan oleh (aparat) negara terhadap
masyarakat kerap terjadi dalam konteks sengketa tanah dan konteks masalah
agraria lainnya. Misalnya, kasus
penggusuran Masyarakat Adat Meler-Kuwus, Manggarai, NTT yang dituduh telah
melakukan “perampasan tanah negara” pada tahun 2002 atau kasus penangkapan dan
intimidasi terhadap delapan anggota Serikat Petani Pasundan di Garut yang
dituduh sebagai perambah dan perusak hutan pada awal Maret 2006.
Padahal hal tersebut tidak boleh
terjadi karena sudah ada aturan yang mengatur hal tersebut, seperti yang
terdapat pada Tap MPR No. IX/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan
Sumber Daya Alam telah mengatakan bahwa “menghormati dan menjunjung tinggi hak
asasi manusia” adalah salah satu prinsip yang wajib ditegakkan oleh (aparat)
negara dalam penanganan sengketa agraria. Dengan merujuk pada Tap MPR ini bahwa
cara-cara yang ditempuh oleh (aparat) Negara tersebut merupakan hal yang tragis
dan ironis dan malangnya hampir dalam kasus sengketa tanah, masyarakat selalu
dalam posisi lemah dan dilemahkan.
Inilah contoh kebijakan yang
diterapkan merupakan kebijakan yang dihasilkan dari rasionalitas manusia semata
tanpa menghadirkan eksistensi pecipta. Maka akibatnya akan berujung pada
kebijakan yang tidak bisa menyelesaikan permasalahan secara komprehensif. Selain itu, banyak dari kebijakan-kebijakan
yang diambil lebih menguntungkan satu kelompok saja (lebih menguntungkan pihak
swasta). Kesalahan ini tidak hanya terjadi dari implemntasi kebijakan tersebut
saja, melainkan berhubungan dengan landasan pembuatan kebijakannya yang sudah tidak ideal.
Pandangan
Islam tentang
Tanah
Dalam pandangan Islam tanah adalah
termasuk harta yang boleh dimiliki individu. Setiap orang berhak mengelola tanah dengan syarat lahan tersebut tidak bertuan (tanah mati) dan ketika ada orang
yang mengelola tanah tersebut dalam artian menggarap atau menghidupkan tanah
tersebut maka orang tersebut berhak memiliki tanah itu. Hal ini sesuai dengan Sabda Nabi saw.:
“Siapa yang
mematok sebidang tanah maka tanah itu miliknya,”(HR. Ahmad, Thabrani, Abu Daud,
Bayhaqi)
Juga dari sabda yang yang lain:
“Siapa yang
mengelola sebidang tanah yang tidak ada pemiliknya seorangpun, maka ia lebih
berhak (memilikinya)”(HR.Bukhari
Kepemilikan
lahan itu juga disyaratkan adanya pengelolaan seperti menanaminya, membersihkan
lahannya, membangun bangunan di atasnya seperti rumah, kantor, peternakan, dsb.
Bila dalam jangka waktu 3 tahun tidak dikelola, maka Negara berhak mengalihkan
kepemilikan tanah yang ditelantarkan tersebut kepada orang lain yang mampu
untuk mengelolanya.
Hukum Komprehensif Seputar Lahan
Pertanian
Syaikh Abdurrahman al-Maliki dalam
As-Siyasah al-Iqtishadiyah al-Mutsla telah menerangkan 3 (tiga) hukum syariah
terpenting yang menyangkut lahan pertanian:
(1) hukum kepemilikan lahan (milkiyah
al-ardh);
(2) hukum mengelola lahan pertanian
(istighlal al-ardh); dan
(3) hukum menyewakan lahan pertanian
(ta‘jir al-ardh) (Abdurrahman Al-Maliki, As-Siyasah al-Iqtishadiyah al-Mutsla,
hlm. 59-69).
Hukum
Kepemilikan Lahan
Syariah Islam
telah menetapkan hukum-hukum khusus terkait lahan pertanian. Yang terpenting
adalah hukum kepemilikan lahan. Bagaimanakah seorang petani dapat memiliki
lahan?
Syariah Islam menjelaskan bahwa ada 6 (enam) mekanisme
hukum untuk memiliki lahan:
(1) melalui jual-beli;
(2) melalui waris;
(3) melalui hibah;
(4) melalui ihya’ al-mawat (menghidupkan tanah mati);
(5) melalui tahjir (membuat batas pada suatu lahan);
(6) melalui iqtha’ (pemberian negara kepada rakyat).
(Abdurrahman Al-Maliki, As-Siyasah al-Iqtishadiyah al-Mutsla, hlm. 59).
Mengenai
mekanisme jual beli, waris, dan hibah, sudah jelas. Adapun Ihya’ al-Mawat
adalah upaya seseorang untuk menghidupkan tanah mati (al-ardhu al-maytah).
Tanah mati adalah tanah yang tidak ada pemiliknya dan tidak dimanfaatkan oleh
seorang pun. Upaya seseorang menghidupkan tanah mati menjadi sebab bagi dirinya
untuk memiliki tanah tersebut. Menghidupkan tanah mati artinya melakukan upaya
untuk menjadikan tanah itu menghasilkan manfaat seperti bercocok tanam, menanam
pohon, membangun bangunan dan sebagainya di atas tanah itu. Rasulullah saw. bersabda:
Siapa saja yang
menghidupkan tanah mati maka tanah itu menjadi miliknya (HR al-Bukhari).
Artinya adalah membuat batas pada suatu bidang tanah dengan batas-batas tertentu, misalnya dengan meletakkan batu, membangun pagar, dan yang semisalnya di atas tanah tersebut. Sama dengan Ihya’ al-Mawat, aktivitas Tahjir juga dilakukan pada tanah mati. Aktivitas Tahjir menjadikan tanah yang dibatasi/dipagari itu sebagai hak milik bagi yang melakukan Tahjir. Ini sesuai dengan sabda Rasulullah saw.:
Siapa saja memasang batas pada suatu
tanah maka tanah itu menjadi miliknya (HR Ahmad, Thabrani, dan Abu Dawud).
(Lihat Athif Abu Zaid Sulaiman Ali, Ihya’ al-Aradhi al-Mawat fi al-Islam, hlm.
72).
Adapun Iqtha’ adalah kebijakan Khilafah
memberikan tanah milik negara kepada rakyat secara gratis. Tanah ini merupakan
tanah yang sudah pernah dihidupkan, misalnya pernah ditanami, tetapi karena
suatu hal tanah itu tidak ada lagi pemiliknya. Tanah seperti ini menjadi tanah
milik negara (milkiyah al-dawlah), bukan tanah mati (al-ardhu al-maytah)
sehingga tidak dapat dimiliki dengan cara Ihya’ al-Mawat atau Tahjir. Tanah
seperti ini tidak dapat dimiliki individu rakyat, kecuali melalui mekanisme
pemberian (Iqtha’) oleh negara. Rasulullah saw. pernah memberikan sebidang
tanah kepada Abu Bakar dan Umar. Ini menunjukkan negara boleh dan mempunyai hak
untuk memberikan tanah milik negara kepada rakyatnya. (Abdurrahman Al-Maliki,
As-Siyasah al-Iqtishadiyah al-Mutsla, hlm. 60).
Hukum Mengelola Lahan Pertanian
Syariah Islam
mewajibkan para pemilik lahan untuk mengelola tanah mereka agar produktif.
Artinya, kepemilikan identik dengan produktivitas. Prinsipnya, memiliki berarti
berproduksi (man yamliku yuntiju). Jadi, pengelolaan lahan adalah bagian
integral dari kepemilikan lahan itu sendiri (Abdurrahman al-Maliki, As-Siyasah
al-Iqtishadiyah al-Mutsla, hlm. 61).
Maka dari itu,
syariah Islam tidak membenarkan orang memiliki lahan tetapi lahannya tidak
produktif. Islam menetapkan siapa saja yang menelantarkan lahan pertanian
miliknya selama 3 (tiga) tahun berturut-turut, maka hak kepemilikannya gugur.
Pada suatu saat Khalifah Umar bin al-Khaththab ra. berbicara di atas mimbar:
Siapa saja yang
menghidupkan tanah mati maka tanah itu menjadi miliknya. Orang yang melakukan
tahjir tidak mempunyai hak lagi atas tanahnya setelah tiga tahun (tanah itu
terlantar) (Disebut oleh Abu Yusuf dalam kitab Al-Kharaj. Lihat Muqaddimah
Al-Dustur, II/45).
Pidato Umar bin al-Khaththab itu didengar oleh para Sahabat dan tidak ada seorang pun dari mereka yang mengingkarinya. Maka dari itu, terdapat Ijmak Sahabat bahwa hak milik orang yang melakukan Tahjir (memasang batas pada sebidang tanah) gugur jika dia menelantarkan tanahnya tiga tahun.
Tanah yang
ditelantarkan tiga tahun itu selanjutnya akan diambil-alih secara paksa oleh
negara untuk diberikan kepada orang lain yang mampu mengelola tanah itu. Dalam
kitab Al-Amwal, Imam Abu Ubaid menuturkan riwayat dari Bilal bin Al-Haris
Al-Muzni, yang berkata: Rasulullah saw. pernah memberikan kepada dirinya [Bilal]
tanah di wilayah Al-Aqiq semuanya. Dia berkata, “Lalu pada masa Umar,
berkatalah Umar kepada Bilal, ‘Sesungguhnya Rasulullah saw. tidak memberikan
tanah itu agar kamu membatasinya dari orang-orang. Namun, Rasulullah saw.
memberikan tanah itu untuk kamu kelola. Maka dari itu, ambillah dari tanah itu
yang mampu kamu kelola dan kembalikan sisanya.’” (Lihat Athif Abu Zaid Sulaiman
Ali, Ihya’ al-Aradhi al-Mawat fi al-Islam, hlm. 73).
Gugurnya hak
milik ini tidak terbatas pada tanah yang dimiliki lewat Tahjir, tapi dapat
di-qiyas-kan juga pada tanah-tanah yang dimiliki melalui cara-cara lain,
seperti jual-beli atau waris. Hal itu karena gugurnya hak milik orang yang
melakukan Tahjir didasarkan pada suatu ‘illat (alasan hukum), yaitu
penelantaran tanah (ta’thil al-ardh). Maka dari itu, berdasarkan Qiyas,
tanah-tanah pertanian yang dimiliki dengan cara lain seperti jual beli dan
waris, juga gugur hak miliknya selama terdapat ‘illat yang sama pada tanah itu,
yaitu penelantaran tanah (ta’thil al-ardh). (Taqiyuddin An-Nabhani, An-Nizham
al-Iqtishadi fi al-Islam, hlm. 140).
Hukum Menyewakan Lahan Pertanian
Akad menyewakan
lahan pertanian (ta‘jir al-ardh) dalam fikih disebut dengan istilah Muzara’ah
atau Mukhabarah. Para ulama berbeda pendapat mengenai boleh-tidaknya akad
tersebut. Namun, pendapat yang rajih (kuat) adalah yang mengharamkannya
(Pen-tarjih-an dalil yang rinci dapat dilihat dalam kitab Muqaddimah ad-Dustur,
II/46-63).
Dalam hadis sahih riwayat Imam Muslim
disebutkan:
Rasulullah saw.
telah melarang untuk mengambil upah atau bagi hasil dari lahan pertanian (HR
Muslim).
Hadis ini
dengan jelas mengharamkan akad menyewakan lahan pertanian secara mutlak, baik
tanah ‘Usyriyah maupun tanah Kharajiyah, baik tanah itu disewakan dengan
imbalan uang, imbalan barang, atau dengan cara bagi hasil (Jawa: maro)
(Abdurrahman Al-Maliki, As-Siyasah al-Iqtishadiyah al-Mutsla, hlm. 68).
Namun, yang
diharamkan adalah menyewakan lahan pertanian untuk keperluan bercocok tanam
saja (li az-zira’ah), misalnya untuk ditanami padi atau jagung. Adapun jika
menyewakan lahan pertanian bukan untuk bercocok tanam, hukumnya boleh, misalnya
untuk dijadikan kandang ternak, gudang, tempat peristirahatan, dan sebagainya.
(Taqiyuddin An-Nabhani, An-Nizham al-Iqtishadi fi al-Islam, hlm.143).
Kebijakan Daulah
dalam Penyelesaian Pengelolaan Tanah
Seperti
yang telah dijelaskan di atas bahwa tanah adalah harta yang boleh dimiliki
individu dan didalam Islam kepemilikan ini tidak sepenuhnya dikembalikan pada
individu tapi ada pengaturannya tersendiri. Dalam buku sistem keuangan Negara
Khilafah, tanah dan bangunan yang terkait dengan Negara adalah hak semua umat
Islam. Islam memiliki asas-asas sistem ekonomi Islam untuk mengatur kekayaan
Negara termasuk pengelolaan tanah didalamnya yaitu, ada tiga asas ekonomi
islam: pertama, kepemilikan. Kedua, pengelolaan kepemilikan. Ketiga, distribusi kekayaan di
tengah-tengah masyarakat.
Jika terjadi kasus
sengketa tanah pada Daulah yang akan datang, maka langkah yang akan ditempuh
adalah langkah atau kebijakan yang hanya berlandaskan pada Islam semata. Dan
tidak akan ada lagi aturan-aturan yang bersifat absurd sehingga dengan mudah
dapat di salah artikan oleh pihak-pihak tertentu.
Bekenaan dengan pengolahan lahan maka Islam sudah
memiliki aturannya. Misalnya, permasalahan lahan antara individu maka akan diselesaikan oleh
Khalifah dengan adil. Contoh kasus adalah sengketa terkait batas lahan yang
dimiliki individu. Maka Qadhi
Khusumat yang akan menyelesaikan kasus ini dengan melihat siapa yang lebih dulu
mengelola tanah ini disertai dengan pembuktian dan saksi dari kedua belah pihak
yang bersengketa. Tapi ketika sengketa lahan tersebut
berkaitan dengan lahan pertambangan atau perhutanan yang luasnya berhektar-hektar dan bisa menghidupi
hajat hidup orang banyak, maka
akan diselesaikan dengan cara pengambil alihan lahan yang bersengketa tersebut
oleh Negara.
Kemudian dikelola dan hasilnya diserahkan kepada masyarakat.
Jika
ada lahan yang didiamkan oleh pemilik lahan maka
khilafah memberi
batasan seberapa lama lahan tersebut tidak dihidupkan. oleh siapa lahan itu akan dipelihara di tentukan oleh Khalifah.
Seperti yang dijelaskan dalam Sistem
Keuangan Negara khilafah yaitu: Pembagian pengelolaan tanah-tanah mati
perlu diperhatikan beberapa perkara. Jika tanah mati yang dibagikan itu sudah
lama terlantar, atau tanah itu dahulunya subur dan ditanami, kemudian
diterlantarkan sehingga menjadi tanah mati, sebelum dikenakan kharaj, maka
secara syar’iy negara bisa mengambil alih tanah itu, lalu dibagikan kepada
salah seorang dari rakyatnya. Tanah jenis ini selaras dengan (hukum)
menghidupkan tanah mati di tanah kharajiyyah. Jika Muslim yang dapat pembagian,
ia bisa mendapatkan hak pemanfaatannya dan hak atas (zat) tanahnya, asalkan
tanah tersebut dihidupkan. Ia dikenakan ‘usyur zakat. Tapi, kalau yang mendapat
bagian itu adalah orang kafir dzimmiy, maka ia hanya mendapatkan hak manfaatnya
saja, dan atasnya hanya dikenakan kharaj, sebab tanah itu adalah tanah kharaj.
Lain halnya
jika tanah mati itu dulunya adalah subur dan pernah dikenakan kharaj atas
tanahnya, setelah itu tanah tadi menjadi terlantar, maka terhadap tanah semacam
ini dikenakan kharaj, baik yang mendapatkan bagian itu
Muslim atau pun kafir dzimmiy. Sebab, terhadap tanah yang dibebaskan dikenakan
kharaj, dan (status hukum)-nya secara pasti seperti ini, hingga Allah
mewariskan tanah itu kepada orang lain
dan keturunannya. Artinya, yang mendapatkan bagian tanah ini hanya memiliki
manfatnya saja, baik dia itu Muslim atau pun kafir, karena tanah itu adalah tanah kharajiyyah.
Menghidupkan
tanah mati dan mendorongnya untuk menanaminya. Khalifah harus memberi dorongan
kepada masyarakat untuk menghidupkan tanah-tanah mati (terlantar). Menghidupkan
tanah mati, jika digunakan untuk tempat tinggal, membangun gudang, pabrik,
kandang hewan atau unggas; maka semua itu menjadi sempurna dengan berdirinya
bangunan dan atapnya. Karena hal itu merupakan awal kesempurnaan bangunan untuk bisa ditinggali atau dijadikan
gudang, pabrik, kandang hewan atau unggas. Adapun, bila tanah itu dihidupkan
untuk pertanian dan pembibitan, maka dilakukan dengan membuat pagar sebagai
pembatas dan pembeda dengan tanah yang lain. Juga dengan mengalirkan air atau
menggali sumur untuk pengairan di tanah tersebut. Jika tanah itu kering, maka
agar pertanian dapat hidup harus dilakukan penyiraman. Adapun jika tanah itu
basah, airnya harus dikurangi, tanahnya diolah, dicabut gulmanya dan dipotong
rumputnya. Dengan sempurnanya menghidupkan tanah mati, maka sempurnalah
pemilikannya.
Tanah mati di
sini merupakan sifat yang dipahami berdasarkan apa yang dikandungnya, sehingga
menjadi pengikat. Diriwayatkan juga oleh Baihaki, dari Amru bin Syu’aib, bahwa
Umar telah menjadikan pemagaran (berlaku) selama tiga tahun. Jadi, jika
seseorang melalaikan tanah yang dipagarinya itu selama tiga tahun, lalu ada
orang lain yang mengelolanya, maka dialah (si pengelola) yang berhak atas tanah
tersebut. Dapat diartikan, bahwa selain pada tanah-tanah mati, maka tidak
berlaku pemilikan berdasarkan pemagaran atau menghidupkan (tanah). (An-
Nabhany, 1953: 119).
Kondisi yang Harus
Dilakukan Sekarang
Banyaknya
permasalahan pertahanan yang berujung pada rakyat lagi yang menjadi pihak yang
dirugikan merupakan satu bentuk kebobrokan dari aturan yang melandasi negeri
ini. Tidak hanya dalam implementasi atau orang-orangnya saja akan tetapi dari
kecacatan sejak lahir sistem yang mengaturnya. Kebijakan yang dikeluarkan oleh
pemerintah sebagai buktinya, seringkali kebijakan-kebijakannya bersifat absurd
dan terlihat mementingkan segelintir orang saja dalam hal ini pemilik modal dan
penentu kebijakan. Seperti dalam UU Pengadaan Tanah untuk Pembangunan
ini. UU ini merupakan bagian dari paket reformasi regulasi pembangunan infrastruktur
di Indonesia bagi proses keterbukaan pasar dan investasi. Selain itu, RUU yang
sudah di sahkan menjadi UU ini sarat dengan ‘pesanan’ asing, yakni
beberapa-dokumen menyebutkan bahwa UU ini didorong oleh ADB, Bank Dunia
dan Japan Bank for International Cooperation (JBIC).
Dengan
demikian maka diperlukan adanya solusi atau tahapan –tahapan yang bisa
menyelesaikan permasalahan ini secara komprehensif. Dan Hizbut tahrir hadir
dengan membawa solusi konfrehensif itu yaitu solusi yang berlandaskan Islam semata.
Sebagai sebuah partai politik Hizbut tahrir memiliki langkah-langkah yang
semestinya dilakukan dalam upaya menyelesaikan kasus sengketa tanah ini.
Langkah-langkah yang diambil pastilah langkah yang merujuk pada Rasulullah saw
sebagai teladan setiap muslim. Adapun langlah kongrit yang dilakukan para
pengemban dakwah untuk menyikapi masalah tersebut adalah:
1.
Adanya peningkatan berfikir politis pada setiap
anggota dan pelajarnya karena keberadaan Hizbut Tahir merupakan institusi
pemikiran. Oleh karenanya para hizbiyin dituntut untuk mengetahui fakta yang
terjadi, dan mampu mengaitkannya dengan solusi yang konrehensif.
2.
Mencerdaskan umat agar umat memiliki pemahaman yang
benar terhadap Islam, sehingga umat bisa mendudukan permasalahan yang ada
dengan solusi yang seharusnya di ambil. Hal ini bisa dilakukan dengan terus menginteraksikan ide-ide islam ke
tengah-tengah masyarakat. Baik lewat kontak-kontak ataupun acara-acara yang
berkaitan dengan pencerdasan umat.
3.
Melakukan kiffah as siyasi (perjuangan politik), caranya
dengan membongkar berbagai makar yang
sengaja dilancarkan oleh kaum kafir dalam upaya untuk menghalangi tegaknya
Islam dalam bingkai Daulah Khilafah.
4.
Istiqomah dalam
dakwah dan terus memperjuangkan tegaknya syariah Islam dalam bingkai Daulah Khilafah
Islamiyah.
Adapun
solusi fundamentalis adalah dimana kita harus menyampaikan pada semua kalangan
masyarakat bahwa permaslahan yang terjadi ini bukan hanya permaslahan satu
aspek saja. Tapi permasalahan ini merupakan permasalahan yang sistemik dimana
sistem yang mengatur saat ini adalah sistem yang tidak sesuai dengan manusia
itu sendiri yang akhirnya menimbulkan berbagai permasalahan. Serta
mengungkapakan akar masalah dan solusi yang seharusnya kita ambil atas
permasalahan yang ada saat.
Ketika masyarakat
sudah menyadari bahwa akar permasalahan saat ini adalah sistem yaitu sistem
demokrasi kapitalis yang ada dibelakang semuanya yang menimbulkan banyak
permasalahan. Maka kita bisa menyodorkan sistem alternatif yaitu
sistem Islamyang akan menjadi penyelesai setiap permasalahan.
Penutup
Jika
hukum-hukum yang telah ditetapkan oleh Allah di atas
diterapkan dalam kehidupan niscaya keberkahan yang pasti kita akan dapatkan.
Bukan hanya muslim tapi non-muslimpun bisa merasakan keberkahan yang ada di
dalamnya.
Dan hendaklah engkau memutuskan
perkara diantara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah engkau
mengikuti keinginan mereka. Dan waspadalah terhadap mereka, jangan sampai
mereka memperdayakan engkau terhadap sebagian apa yang telah diturunkan Allah
kepadamu. Jika mereka berpaling (dari hukum yang telah ditentukan Allah), maka
ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah berkehendak menimpakan musibah kepada
mereka disebabkan sebagian dosa-dosa mereka. Dan sungguh, kebanyakan manusia
adalah orang-orang yang fasik. (TQS. Al-Maidah: 49). []
Wallahua’lam bi ash-shawab
Rujukan
1.
www. Nasional.
Kontan.co.id
3.
Sistem
keuangan Negara khilafah. HTI press
4.
An-Nizham al-Iqtishadi fi al-Islam
7.
www.jkpp.org/.../Keppres_34-2003_JakNasBidPertanahan.
8.
www.kpa.or.id/.../Tap-MPR-No-IX-2001
1 komentar:
bagi yang membaca diharapkan komentarnya ya. terimakasih.
Posting Komentar