Kamis, 12 Juli 2012

Pandangan Komprehensif Syariah Islam : Kritik tentang Sengketa Tanah



Kesejahteraan dan penghidupan yang layak  mungkin hanya khayalan dan impian saja bagi penduduk negeri yang di juliki jamrud khatulistiwa ini. Betapa tidak, keadaan dan kehidupan rakyatnya masih sangat jauh dari kata tenang dan sejahtera. Berbagai macam permasalahan yang melibatkan rakyatnya sering terjadi dan ironisnya tidak ada pembelaan dari pemerintah untuk rakyatnya sendiri.
Pernyataan di atas bukan tanpa alasan, banyak fakta terkait yang bisa merepresentasikan pernyataan di atas, misalnya kasus yang akhir-akhir ini muncul dalam pemberitaan berkaitan dengan sengketa tanah. Ternyata, kasus sengketa tanah ini tidak hanya terjadi saat ini saja tapi sudah dari dulu bahkan dari masa orde baru pun sudah muncul dan sampai saat ini belum selesai.
Misalnya kasus sengketa tanah di Mesuji, Sape, Bima, Sungai Sodong, dan di daerah lainnya karena masih banyak wilayah dengan kasus yang serupa. Berdasarkan data Badan Pertanahan Nasional (BPN) terdapat 13.000 kasus sengketa tanah di Indonesia belum terselesaikan (Nasional..kontan.co.id, 14/6/2011). Periode Januari 2011 hingga Juni 2011, baru sekitar 1.333 dari 14.337 perkara tanah yang terselesaikan. Hingga akhir Tahun 2010, terkumpul kasus-kasus pertanahan sebanyak 12.267  perkara pertanahan. Kemudian, akhir Juni 2011 perkara pertanahan bertambah 2110 perkara, sehingga total perkara adalah 14.337 perkara. (Nasional..kontan.co.id, 14/6/2011).
Adapun daftar beberapa kasus sengketa tanah serta kronologisnya dalam kurun waktu 5 tahun terakhir:
No
Waktu
Konflik
Kronologi
1.
September 2006
Pedagang pasar lama dengan TNI AD
Tanah pasar kembangsari lama, desa karangduren, tengaran, semarang, yang dihuni 83 keluarga dan ditempati 500 pedagang diklaim oleh TNI AD yang akan menggunakannya untuk pembangunan infrasrtuktur bangunan TNI AD. Seluruh pedagang dipindah ke pasar kembangsari baru. Pedagang menolak dan melakukan demonstrasi.
2.
Januari 2007
Warga desa sukamulya dengan TNI AU
Warga desa sukamulya, kecamatan rumpin, bogor terlibat bentrokan dengan aparat TNI AU terkait sengketa lahan di kawasan rumpin yang sedang dibangun proyek “water trining” TNI AU. Warga menganggap TNI AU menyerobot tanah mereka.
3.
Mei 2007
Masyarakat desa tlogo, lekok, pasuruan, jawa timur, dengan prajurit mariner TNI AL
Lahan seluas 539 hasejak 1960 sudah dibeli oleh TNI AL untuk dijadikan pusat pendidikan TNI AL. namun, sampai sekarang pusat pendidikan tersebut tidak dibangun, tetapi disewakan kepada PT rajawali nusantara untuk areal perkebunan. Masyarakat merasa dibohongi dan puncaknya terjadi bentrokan, mengakibatkan 4 warga tewas dan 8 orang luka-luka tertembak prajurit mariner TNI AL
4.
16 November 2009
Masyarakat desa sekitar hutan dengan Perhutani dan pengelola taman hutan rakyat (Tahura).
Masyarakat yang bermukim di sekitar area hutan meminta adanya garis batas tanah yang jelas. Garis batas tanah ini menunjukkan mana tanah yang masuk wilayah rakyat atau Perhutani atau pengelola Tahura dan yang dikelola oleh warga.
5.
2009-2011
Lembaga adat Megoupak dengan PT. Silva Inhutani
Sebuah  PT. Silva Inhutani milik warga Negara Malaysia bermaksud melakukan perluasan lahan, dilakukan sejak tahun 2003, namun upaya PT. Silva Inhutani membuka lahan untuk menanam kelapa sawit dan karet selalu ditentang penduduk setempat. Akhirnya PT. Silva Inhutani membentuk PAM Swakarsa yang juga dibekingi aparat kepolisian untuk mengusir penduduk. Pascaadanya PAM Swakarsa terjadilah beberapa pembantaian sadis dari tahun 2009 hingga 2011. Kurang lebih 30 orang sudah menjadi korban pembantaian sadis dengan cara ditembak, disembelih dan disayat-sayat. Sementara ratusan orang mengalami luka-luka dan diantara mereka ada yang mengalami trauma dan stres berat.
6.
 14 april 2010
 Warga koja dengan  Pemkot Jakarta Utara, polisi dan satpol PP
Pemkot Jakarta Utara melakukan penertibkan Kawasan Pemakaman Mbah Priok. Meminta piihak keamanan untuk menertibkan tapi pihak Keamanan mengedepankan kekuasaannya, pihak massa mengedepankan militansinya. Kekerasan diadu dengan kekeran. Mengakibatkan dirawatnya ratusan korban di beberapa rumah sakit.
7.
21 Desember 2011
Masyarakat Sungai Sodong melakukan kerja sama dengan PT. SWA
Pada tahun 1997 terjadi perjanjian kerjasama antara PT. SWA dengan warga, terkait dengan 564 bidang tanah seluas 1070 ha milik warga untuk diplasmakan. Perjanjian tersebut untuk masa waktu 10 tahun, setelah itu akan dikembalikan lagi pada warga. Selama kurun waktu 10 tahun, setiap tahunnya warga juga dijanjikan akan mendapat kompensasi. Perusahaan ternyata tidak memenuhi perjanjian tersebut. Akhirnya pada bulan april 2011 masyarakat sungai sodong mengambil kembali tanah tersebut melalui pendudukan.

 Dari beberapa daftar sengketa tanah di atas, tragedi Mesuji termasuk ke dalam 13 kasus sengketa tanah yang menjadi fenomena gunung es di bidang pertahanan. Fenomena ini terjadi berlarut-larut disebabkan karena ketidak mampuan baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah untuk menyelesaikannya.  Beberapa penyebab konflik sengketa tanah dapat diidentifikasi, misalnya; pertama, konflik lahan antara masyarakat adat dengan perusahaan perkebunan atau perusahaan perhutani yang pada umumnya disebabkan karena ketidak jelasan status hukum tanah yang dikuasai oleh masyarakat adat tidak sesuai dengan pandangan hukum agrarian nasional. Konflik ini disinyalir akan berdampak pada penguasaan tanah oleh perusahaan dengan landasan perusahaan sudah mempunyai bukti legal (sertifikat) yang sah walaupun tanpa memperhatikan produktivitas tanah dengan menelantarkannya bertahun-tahun. Ironisnya ketika masyarakt miskin mencoba memanfaatkan lahan terlantar tersebut dengan menggarapnya - bahkan ada yang sampai puluhan tahun -  dengan gampanya mereka dikalahkan haknya di pengadilan tatkala muncul sengketa.
 Kedua, konflik lahan yang berkaitan perambahan oleh masyarakat lokal ataupun pendatang. Konflik ini akan mengakibatkan adanya ketidak harmonisan antara masyarakat lokal dengan masyarakat pendatang. Dampak yang paling kentara adalah adanya perpecaran diantara masyarakat yang akan menimbulkan rusaknya kestabilitasan dan pertahanan Negara. Ketika konflik ini terjadi di negeri-negeri Muslim maka bukan tidak mungkin secara tidak langsung akan menjadi pintu masuk asing (penjajah) untuk memecah-belah kaum muslim sehingga akhirnya penguasaan kekayaan oleh asing atau swasta yang ada di daerah konflik tersebut menjadi jalan tengah konflik tersebut.
 Ketiga, konflik yang berkaitan dengan lingkungan hidup. Misalnya adanya penambangan disuatu tempat disinyalir akan mengurangi debit air yang dibutuhkan masyarakat karena ada penggalian atau penambangan disekitar sumber air tersebut. Karena sumber airnya sudah dialih fungsikan menjadi area penambangan, hal ini menyebabkan tidak ada lagi cadangan air buat kebutuhan masyarakat atau untuk pengairan pertanian masyarakat, serta tidak jarang adanya pencemaran baik air, tanah, ataupun udara sehingga menghambat produktifitas pertanian masyarakat.
Akar Masalah Adanya Sengketa Tanah
Sebenarnya apa yang melatarbelakangi adanya kasus sengketa tanah ini? Mungkin ini salah satu pertanyaan yang ada di benak masyarakat. Dari sejumlah data dan berbagai analisis terkait sengketa tanah ini terbagi ke dalam dua factor  utama, yaitu; pertama, orientasi agraria nasional lebih condong kepada kebijakan yang bersifat neo liberal. Kedua, penyelesesaian konflik yang terjadi lebih mengedepankan secara refresif (kekerasan). Selain itu konflik sengketa lahan lebih rumit lagi dengan melibatkan spekulan mafia tanah dan makelar.
Pertama, kebijakan agraria nasional lebih condong kepada kebijakan neo-liberal, hal ini bisa di lihat dari aturan yang di pakai oleh pemerintah dalam menyelesaikan permasalahan agrarian ini. Rancangan Undang-Undang Pengadaan Lahan untuk Pembangunan adalah salah satu buktinya. RUU ini telah disahkan oleh DRP pada bulan Desember 2011. Undang-undang ini akan memberikan perlindungan kepada pemilik lahan dari pengambil alihan yang sewenang-wenang. Namum jika dianalisis, keberpihakan Undang-undang ini terhadap warga sangat disangsinkan.
Hal tersebut kita lihat pada bagian C dalam UU PengadaanLlahan yang isinya: “bahwa peraturan perundang-undangan di bidang pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum belum dapat menjamin perolehan tanah untuk pelaksanaan pembangunan. “Kepentingan umum” dalam UU ini masih bersifat absurd, serta memiliki multi makna.  Dengan ke tidak jelasan ini, orang bisa saja mengatasnamakan kepentingan pribadi atau golongan sebagai kepentingan umum, kata “kepentingan umum” ini di ulang pada pasal 5,6,7, dan 8. Yang paling kentara absurdnya terlihat pada pasal 5 yaitu pemilik lahan ‘berkewajiban’ melepaskan kepemilikannya untuk kepentingan umum.
Nuansa neo-liberal ini diperkuat dengan pernyataan bahwa “semangat utama Undang-Undang ini adalah untuk kepentingan pertumbuhan ekonomi sebagaimana dinyatakan Menteri Keuangan Agus Martowardojo yang mengharapkan UU Pengadaan Lahan dapat melancarkan pembangunan proyek infrastruktur untuk mendukung pertumbuhan ekonomi yang direncanakan mencapai tujuh hingga 7,7 persen pada 2014 mendatang. UU tersebut diharapkan dapat memberikan kemudahan dalam pembangunan sarana infrastruktur yang saat ini masih sering dipersulit karena ketiadaan kesepakatan antara pemilik lahan dengan pemerintah (kompas.com, 16/12/2011).
Yang lebih kentara dari UU ini adalah pada pasal 12 yang menyatakan bahwa pembangunan kepentingan umum “wajib diselenggarakan Pemerintah dan dapat bekerja sama dengan Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah, atau Badan Usaha Swasta”. Dari sini menandakan bahwa keberpihakan pemerintah terhadap swasta semakin terbuka lebar.
Yang lebih parah lagi kebijakan yang terdahulu terkait kebijakan agraria yaitu yang di tetapkan dalam Ketetapan MPR No. IX/2001 tentang Pembaharuan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam, Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok Agraria (pasal 9 ayat 2) yaitu “Tiap-tiap warga-negara Indonesia, baik laki-laki maupun wanita mempunyai kesempatan yang sama untuk memperoleh sesuatu hak atas tanah serta untuk mendapat manfaat dari hasilnya, baik bagi diri sendiri maupun keluarganya”. Dari sini Semakin membuka swasta untuk menguasai tanah. Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, dan Keppres No.34 Tahun 2003 tentang Kebijakan Nasional di Bidang Pertanahan, pada dasarnya memberi kewenangan yang besar kepada pemerintah daerah untuk menuntaskan masalah-masalah agraria nyatanya tidak menyelesaikan permasalahan yang ada terkait sengketa tanah ini.

Serta merujuk pada PP No. 24/1997 tentang Pendaftaran Tanah (terutama pasal 2) Badan Pertanahan Nasional (BPN) seharusnya dapat menerbitkan dokumen legal (sertifikat) yang dibutuhkan oleh setiap warga negara dengan mekanisme yang mudah, terlebih lagi jika warga negara yang bersangkutan sebelumnya telah memiliki bukti lama atas hak tanah mereka. Namun sangat disayangkan pembuktian dokumen legal melalui sertifikasi pun ternyata bukan solusi dalam kasus sengketa tanah. Seringkali sebidang tanah memiliki sertifikat lebih dari satu, misalnya pada kasus Meruya. Bahkan, pada beberapa kasus,, sertifikat yang telah diterbitkan pun kemudian bisa dianggap aspro (asli tapi salah prosedur).
Kedua, penyelesesaian konflik yang terjadi lebih mengedepankan secara refresif (kekerasan). Cerita ini bukan hanya milik Rezim Orde Baru saja. pada masa sekarang yang katanya sudah menyuarakan reformasi, berbagai bentuk intimidasi dan kekerasan oleh (aparat)  negara terhadap masyarakat kerap terjadi dalam konteks sengketa tanah dan konteks masalah agraria lainnya. Misalnya, kasus penggusuran Masyarakat Adat Meler-Kuwus, Manggarai, NTT yang dituduh telah melakukan “perampasan tanah negara” pada tahun 2002 atau kasus penangkapan dan intimidasi terhadap delapan anggota Serikat Petani Pasundan di Garut yang dituduh sebagai perambah dan perusak hutan pada awal Maret 2006.
Padahal hal tersebut tidak boleh terjadi karena sudah ada aturan yang mengatur hal tersebut, seperti yang terdapat pada Tap MPR No. IX/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam telah mengatakan bahwa “menghormati dan menjunjung tinggi hak asasi manusia” adalah salah satu prinsip yang wajib ditegakkan oleh (aparat) negara dalam penanganan sengketa agraria. Dengan merujuk pada Tap MPR ini bahwa cara-cara yang ditempuh oleh (aparat) Negara tersebut merupakan hal yang tragis dan ironis dan malangnya hampir dalam kasus sengketa tanah, masyarakat selalu dalam posisi lemah dan dilemahkan.
Inilah contoh kebijakan yang diterapkan merupakan kebijakan yang dihasilkan dari rasionalitas manusia semata tanpa menghadirkan eksistensi pecipta. Maka akibatnya akan berujung pada kebijakan yang tidak bisa menyelesaikan permasalahan secara komprehensif.  Selain itu, banyak dari kebijakan-kebijakan yang diambil lebih menguntungkan satu kelompok saja (lebih menguntungkan pihak swasta). Kesalahan ini tidak hanya terjadi dari implemntasi kebijakan tersebut saja, melainkan berhubungan dengan landasan pembuatan kebijakannya yang  sudah tidak ideal.
Pandangan Islam tentang Tanah
Dalam pandangan Islam tanah adalah termasuk harta yang boleh dimiliki individu. Setiap orang berhak mengelola tanah dengan syarat lahan tersebut tidak bertuan (tanah mati) dan ketika ada orang yang mengelola tanah tersebut dalam artian menggarap atau menghidupkan tanah tersebut maka orang tersebut berhak memiliki tanah itu. Hal ini sesuai dengan Sabda Nabi saw.:
“Siapa yang mematok sebidang tanah maka tanah itu miliknya,”(HR. Ahmad, Thabrani, Abu Daud, Bayhaqi)
Juga dari sabda yang yang lain:
“Siapa yang mengelola sebidang tanah yang tidak ada pemiliknya seorangpun, maka ia lebih berhak (memilikinya)”(HR.Bukhari
Kepemilikan lahan itu juga disyaratkan adanya pengelolaan seperti menanaminya, membersihkan lahannya, membangun bangunan di atasnya seperti rumah, kantor, peternakan, dsb. Bila dalam jangka waktu 3 tahun tidak dikelola, maka Negara berhak mengalihkan kepemilikan tanah yang ditelantarkan tersebut kepada orang lain yang mampu untuk mengelolanya.
Hukum Komprehensif Seputar Lahan Pertanian
Syaikh Abdurrahman al-Maliki dalam As-Siyasah al-Iqtishadiyah al-Mutsla telah menerangkan 3 (tiga) hukum syariah terpenting yang menyangkut lahan pertanian:
(1) hukum kepemilikan lahan (milkiyah al-ardh);
(2) hukum mengelola lahan pertanian (istighlal al-ardh); dan
(3) hukum menyewakan lahan pertanian (ta‘jir al-ardh) (Abdurrahman Al-Maliki, As-Siyasah al-Iqtishadiyah al-Mutsla, hlm. 59-69).
Hukum Kepemilikan Lahan
Syariah Islam telah menetapkan hukum-hukum khusus terkait lahan pertanian. Yang terpenting adalah hukum kepemilikan lahan. Bagaimanakah seorang petani dapat memiliki lahan?
Syariah Islam menjelaskan bahwa ada 6 (enam) mekanisme hukum untuk memiliki lahan:
(1) melalui jual-beli;
(2) melalui waris;
(3) melalui hibah;
(4) melalui ihya’ al-mawat (menghidupkan tanah mati);
(5) melalui tahjir (membuat batas pada suatu lahan);
(6) melalui iqtha’ (pemberian negara kepada rakyat). (Abdurrahman Al-Maliki, As-Siyasah al-Iqtishadiyah al-Mutsla, hlm. 59).

                Mengenai mekanisme jual beli, waris, dan hibah, sudah jelas. Adapun Ihya’ al-Mawat adalah upaya seseorang untuk menghidupkan tanah mati (al-ardhu al-maytah). Tanah mati adalah tanah yang tidak ada pemiliknya dan tidak dimanfaatkan oleh seorang pun. Upaya seseorang menghidupkan tanah mati menjadi sebab bagi dirinya untuk memiliki tanah tersebut. Menghidupkan tanah mati artinya melakukan upaya untuk menjadikan tanah itu menghasilkan manfaat seperti bercocok tanam, menanam pohon, membangun bangunan dan sebagainya di atas tanah itu. Rasulullah saw. bersabda:

Siapa saja yang menghidupkan tanah mati maka tanah itu menjadi miliknya (HR al-Bukhari).

             Artinya adalah membuat batas pada suatu bidang tanah dengan batas-batas tertentu, misalnya dengan meletakkan batu, membangun pagar, dan yang semisalnya di atas tanah tersebut. Sama dengan Ihya’ al-Mawat, aktivitas Tahjir juga dilakukan pada tanah mati. Aktivitas Tahjir menjadikan tanah yang dibatasi/dipagari itu sebagai hak milik bagi yang melakukan Tahjir. Ini sesuai dengan sabda Rasulullah saw.:
Siapa saja memasang batas pada suatu tanah maka tanah itu menjadi miliknya (HR Ahmad, Thabrani, dan Abu Dawud). (Lihat Athif Abu Zaid Sulaiman Ali, Ihya’ al-Aradhi al-Mawat fi al-Islam, hlm. 72).
Adapun Iqtha’ adalah kebijakan Khilafah memberikan tanah milik negara kepada rakyat secara gratis. Tanah ini merupakan tanah yang sudah pernah dihidupkan, misalnya pernah ditanami, tetapi karena suatu hal tanah itu tidak ada lagi pemiliknya. Tanah seperti ini menjadi tanah milik negara (milkiyah al-dawlah), bukan tanah mati (al-ardhu al-maytah) sehingga tidak dapat dimiliki dengan cara Ihya’ al-Mawat atau Tahjir. Tanah seperti ini tidak dapat dimiliki individu rakyat, kecuali melalui mekanisme pemberian (Iqtha’) oleh negara. Rasulullah saw. pernah memberikan sebidang tanah kepada Abu Bakar dan Umar. Ini menunjukkan negara boleh dan mempunyai hak untuk memberikan tanah milik negara kepada rakyatnya. (Abdurrahman Al-Maliki, As-Siyasah al-Iqtishadiyah al-Mutsla, hlm. 60).

Hukum Mengelola Lahan Pertanian
Syariah Islam mewajibkan para pemilik lahan untuk mengelola tanah mereka agar produktif. Artinya, kepemilikan identik dengan produktivitas. Prinsipnya, memiliki berarti berproduksi (man yamliku yuntiju). Jadi, pengelolaan lahan adalah bagian integral dari kepemilikan lahan itu sendiri (Abdurrahman al-Maliki, As-Siyasah al-Iqtishadiyah al-Mutsla, hlm. 61).
Maka dari itu, syariah Islam tidak membenarkan orang memiliki lahan tetapi lahannya tidak produktif. Islam menetapkan siapa saja yang menelantarkan lahan pertanian miliknya selama 3 (tiga) tahun berturut-turut, maka hak kepemilikannya gugur. Pada suatu saat Khalifah Umar bin al-Khaththab ra. berbicara di atas mimbar:
Siapa saja yang menghidupkan tanah mati maka tanah itu menjadi miliknya. Orang yang melakukan tahjir tidak mempunyai hak lagi atas tanahnya setelah tiga tahun (tanah itu terlantar) (Disebut oleh Abu Yusuf dalam kitab Al-Kharaj. Lihat Muqaddimah Al-Dustur, II/45).

Pidato Umar bin al-Khaththab itu didengar oleh para Sahabat dan tidak ada seorang pun dari mereka yang
mengingkarinya. Maka dari itu, terdapat Ijmak Sahabat bahwa hak milik orang yang melakukan Tahjir (memasang batas pada sebidang tanah) gugur jika dia menelantarkan tanahnya tiga tahun.
Tanah yang ditelantarkan tiga tahun itu selanjutnya akan diambil-alih secara paksa oleh negara untuk diberikan kepada orang lain yang mampu mengelola tanah itu. Dalam kitab Al-Amwal, Imam Abu Ubaid menuturkan riwayat dari Bilal bin Al-Haris Al-Muzni, yang berkata: Rasulullah saw. pernah memberikan kepada dirinya [Bilal] tanah di wilayah Al-Aqiq semuanya. Dia berkata, “Lalu pada masa Umar, berkatalah Umar kepada Bilal, ‘Sesungguhnya Rasulullah saw. tidak memberikan tanah itu agar kamu membatasinya dari orang-orang. Namun, Rasulullah saw. memberikan tanah itu untuk kamu kelola. Maka dari itu, ambillah dari tanah itu yang mampu kamu kelola dan kembalikan sisanya.’” (Lihat Athif Abu Zaid Sulaiman Ali, Ihya’ al-Aradhi al-Mawat fi al-Islam, hlm. 73).
Gugurnya hak milik ini tidak terbatas pada tanah yang dimiliki lewat Tahjir, tapi dapat di-qiyas-kan juga pada tanah-tanah yang dimiliki melalui cara-cara lain, seperti jual-beli atau waris. Hal itu karena gugurnya hak milik orang yang melakukan Tahjir didasarkan pada suatu ‘illat (alasan hukum), yaitu penelantaran tanah (ta’thil al-ardh). Maka dari itu, berdasarkan Qiyas, tanah-tanah pertanian yang dimiliki dengan cara lain seperti jual beli dan waris, juga gugur hak miliknya selama terdapat ‘illat yang sama pada tanah itu, yaitu penelantaran tanah (ta’thil al-ardh). (Taqiyuddin An-Nabhani, An-Nizham al-Iqtishadi fi al-Islam, hlm. 140).

Hukum Menyewakan Lahan Pertanian
Akad menyewakan lahan pertanian (ta‘jir al-ardh) dalam fikih disebut dengan istilah Muzara’ah atau Mukhabarah. Para ulama berbeda pendapat mengenai boleh-tidaknya akad tersebut. Namun, pendapat yang rajih (kuat) adalah yang mengharamkannya (Pen-tarjih-an dalil yang rinci dapat dilihat dalam kitab Muqaddimah ad-Dustur, II/46-63).
Dalam hadis sahih riwayat Imam Muslim disebutkan:
Rasulullah saw. telah melarang untuk mengambil upah atau bagi hasil dari lahan pertanian (HR Muslim).
Hadis ini dengan jelas mengharamkan akad menyewakan lahan pertanian secara mutlak, baik tanah ‘Usyriyah maupun tanah Kharajiyah, baik tanah itu disewakan dengan imbalan uang, imbalan barang, atau dengan cara bagi hasil (Jawa: maro) (Abdurrahman Al-Maliki, As-Siyasah al-Iqtishadiyah al-Mutsla, hlm. 68).
Namun, yang diharamkan adalah menyewakan lahan pertanian untuk keperluan bercocok tanam saja (li az-zira’ah), misalnya untuk ditanami padi atau jagung. Adapun jika menyewakan lahan pertanian bukan untuk bercocok tanam, hukumnya boleh, misalnya untuk dijadikan kandang ternak, gudang, tempat peristirahatan, dan sebagainya. (Taqiyuddin An-Nabhani, An-Nizham al-Iqtishadi fi al-Islam, hlm.143).
Kebijakan Daulah dalam Penyelesaian Pengelolaan Tanah
Seperti yang telah dijelaskan di atas bahwa tanah adalah harta yang boleh dimiliki individu dan didalam Islam kepemilikan ini tidak sepenuhnya dikembalikan pada individu tapi ada pengaturannya tersendiri. Dalam buku sistem keuangan Negara Khilafah, tanah dan bangunan yang terkait dengan Negara adalah hak semua umat Islam. Islam memiliki asas-asas sistem ekonomi Islam untuk mengatur kekayaan Negara termasuk pengelolaan tanah didalamnya yaitu, ada tiga asas ekonomi islam: pertama, kepemilikan. Kedua, pengelolaan kepemilikan. Ketiga, distribusi kekayaan di tengah-tengah masyarakat.
Jika terjadi kasus sengketa tanah pada Daulah yang akan datang, maka langkah yang akan ditempuh adalah langkah atau kebijakan yang hanya berlandaskan pada Islam semata. Dan tidak akan ada lagi aturan-aturan yang bersifat absurd sehingga dengan mudah dapat di salah artikan oleh pihak-pihak tertentu.
Bekenaan dengan pengolahan lahan maka Islam sudah memiliki aturannya. Misalnya, permasalahan lahan  antara individu maka akan diselesaikan oleh Khalifah dengan adil. Contoh kasus adalah sengketa terkait batas lahan yang dimiliki individu. Maka Qadhi Khusumat yang akan menyelesaikan kasus ini dengan melihat siapa yang lebih dulu mengelola tanah ini disertai dengan pembuktian dan saksi dari kedua belah pihak yang bersengketa. Tapi ketika sengketa lahan tersebut berkaitan dengan lahan  pertambangan atau perhutanan yang  luasnya berhektar-hektar dan bisa menghidupi hajat hidup orang banyak,  maka akan diselesaikan dengan cara pengambil alihan lahan yang bersengketa tersebut oleh Negara. Kemudian dikelola dan hasilnya diserahkan kepada masyarakat.
Jika ada  lahan yang didiamkan oleh pemilik lahan maka khilafah memberi batasan seberapa lama lahan tersebut tidak dihidupkan. oleh siapa lahan  itu akan dipelihara di tentukan oleh Khalifah. Seperti yang dijelaskan dalam Sistem Keuangan Negara khilafah yaitu: Pembagian pengelolaan tanah-tanah mati perlu diperhatikan beberapa perkara. Jika tanah mati yang dibagikan itu sudah lama terlantar, atau tanah itu dahulunya subur dan ditanami, kemudian diterlantarkan sehingga menjadi tanah mati, sebelum dikenakan kharaj, maka secara syar’iy negara bisa mengambil alih tanah itu, lalu dibagikan kepada salah seorang dari rakyatnya. Tanah jenis ini selaras dengan (hukum) menghidupkan tanah mati di tanah kharajiyyah. Jika Muslim yang dapat pembagian, ia bisa mendapatkan hak pemanfaatannya dan hak atas (zat) tanahnya, asalkan tanah tersebut dihidupkan. Ia dikenakan ‘usyur zakat. Tapi, kalau yang mendapat bagian itu adalah orang kafir dzimmiy, maka ia hanya mendapatkan hak manfaatnya saja, dan atasnya hanya dikenakan kharaj, sebab tanah itu adalah tanah kharaj.
Lain halnya jika tanah mati itu dulunya adalah subur dan pernah dikenakan kharaj atas tanahnya, setelah itu tanah tadi menjadi terlantar, maka terhadap tanah semacam ini dikenakan kharaj, baik yang mendapatkan bagian itu Muslim atau pun kafir dzimmiy. Sebab, terhadap tanah yang dibebaskan dikenakan kharaj, dan (status hukum)-nya secara pasti seperti ini, hingga Allah
mewariskan tanah itu kepada orang lain dan keturunannya. Artinya, yang mendapatkan bagian tanah ini hanya memiliki manfatnya saja, baik dia itu Muslim atau pun kafir, karena tanah itu adalah tanah kharajiyyah.    
Menghidupkan tanah mati dan mendorongnya untuk menanaminya. Khalifah harus memberi dorongan kepada masyarakat untuk menghidupkan tanah-tanah mati (terlantar). Menghidupkan tanah mati, jika digunakan untuk tempat tinggal, membangun gudang, pabrik, kandang hewan atau unggas; maka semua itu menjadi sempurna dengan berdirinya bangunan dan atapnya. Karena hal itu merupakan awal kesempurnaan bangunan untuk bisa ditinggali atau dijadikan gudang, pabrik, kandang hewan atau unggas. Adapun, bila tanah itu dihidupkan untuk pertanian dan pembibitan, maka dilakukan dengan membuat pagar sebagai pembatas dan pembeda dengan tanah yang lain. Juga dengan mengalirkan air atau menggali sumur untuk pengairan di tanah tersebut. Jika tanah itu kering, maka agar pertanian dapat hidup harus dilakukan penyiraman. Adapun jika tanah itu basah, airnya harus dikurangi, tanahnya diolah, dicabut gulmanya dan dipotong rumputnya. Dengan sempurnanya menghidupkan tanah mati, maka sempurnalah pemilikannya.
Tanah mati di sini merupakan sifat yang dipahami berdasarkan apa yang dikandungnya, sehingga menjadi pengikat. Diriwayatkan juga oleh Baihaki, dari Amru bin Syu’aib, bahwa Umar telah menjadikan pemagaran (berlaku) selama tiga tahun. Jadi, jika seseorang melalaikan tanah yang dipagarinya itu selama tiga tahun, lalu ada orang lain yang mengelolanya, maka dialah (si pengelola) yang berhak atas tanah tersebut. Dapat diartikan, bahwa selain pada tanah-tanah mati, maka tidak berlaku pemilikan berdasarkan pemagaran atau menghidupkan (tanah). (An- Nabhany, 1953: 119).

Kondisi yang Harus Dilakukan Sekarang
Banyaknya permasalahan pertahanan yang berujung pada rakyat lagi yang menjadi pihak yang dirugikan merupakan satu bentuk kebobrokan dari aturan yang melandasi negeri ini. Tidak hanya dalam implementasi atau orang-orangnya saja akan tetapi dari kecacatan sejak lahir sistem yang mengaturnya. Kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah sebagai buktinya, seringkali kebijakan-kebijakannya bersifat absurd dan terlihat mementingkan segelintir orang saja dalam hal ini pemilik modal dan penentu kebijakan. Seperti dalam UU Pengadaan Tanah untuk Pembangunan ini. UU ini merupakan bagian dari paket reformasi regulasi pembangunan infrastruktur di Indonesia bagi proses keterbukaan pasar dan investasi. Selain itu, RUU yang sudah di sahkan menjadi UU ini sarat dengan ‘pesanan’ asing, yakni beberapa-dokumen  menyebutkan bahwa UU ini didorong oleh ADB, Bank Dunia dan Japan Bank for International Cooperation (JBIC).
Dengan demikian maka diperlukan adanya solusi atau tahapan –tahapan yang bisa menyelesaikan permasalahan ini secara komprehensif. Dan Hizbut tahrir hadir dengan membawa solusi konfrehensif itu yaitu solusi yang berlandaskan Islam semata. Sebagai sebuah partai politik Hizbut tahrir memiliki langkah-langkah yang semestinya dilakukan dalam upaya menyelesaikan kasus sengketa tanah ini. Langkah-langkah yang diambil pastilah langkah yang merujuk pada Rasulullah saw sebagai teladan setiap muslim. Adapun langlah kongrit yang dilakukan para pengemban dakwah untuk menyikapi masalah tersebut adalah:
1.        Adanya peningkatan berfikir politis pada setiap anggota dan pelajarnya karena keberadaan Hizbut Tahir merupakan institusi pemikiran. Oleh karenanya para hizbiyin dituntut untuk mengetahui fakta yang terjadi, dan mampu mengaitkannya dengan solusi yang konrehensif.
2.        Mencerdaskan umat agar umat memiliki pemahaman yang benar terhadap Islam, sehingga umat bisa mendudukan permasalahan yang ada dengan solusi yang seharusnya di ambil. Hal ini bisa dilakukan dengan  terus menginteraksikan ide-ide islam ke tengah-tengah masyarakat. Baik lewat kontak-kontak ataupun acara-acara yang berkaitan dengan pencerdasan umat.
3.        Melakukan kiffah as siyasi (perjuangan politik), caranya dengan membongkar berbagai makar yang sengaja dilancarkan oleh kaum kafir dalam upaya untuk menghalangi tegaknya Islam dalam bingkai Daulah Khilafah.
4.        Istiqomah dalam dakwah dan terus memperjuangkan tegaknya syariah Islam dalam bingkai Daulah Khilafah Islamiyah.
Adapun solusi fundamentalis adalah dimana kita harus menyampaikan pada semua kalangan masyarakat bahwa permaslahan yang terjadi ini bukan hanya permaslahan satu aspek saja. Tapi permasalahan ini merupakan permasalahan yang sistemik dimana sistem yang mengatur saat ini adalah sistem yang tidak sesuai dengan manusia itu sendiri yang akhirnya menimbulkan berbagai permasalahan. Serta mengungkapakan akar masalah dan solusi yang seharusnya kita ambil atas permasalahan yang ada saat.
Ketika masyarakat sudah menyadari bahwa akar permasalahan saat ini adalah sistem yaitu sistem demokrasi kapitalis yang ada dibelakang semuanya yang menimbulkan banyak permasalahan. Maka kita bisa menyodorkan sistem alternatif yaitu sistem Islamyang akan menjadi penyelesai setiap permasalahan.
Penutup
Jika hukum-hukum yang telah ditetapkan oleh Allah di atas diterapkan dalam kehidupan niscaya keberkahan yang pasti kita akan dapatkan. Bukan hanya muslim tapi non-muslimpun bisa merasakan keberkahan yang ada di dalamnya.
Dan hendaklah engkau memutuskan perkara diantara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah engkau mengikuti keinginan mereka. Dan waspadalah terhadap mereka, jangan sampai mereka memperdayakan engkau terhadap sebagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu. Jika mereka berpaling (dari hukum yang telah ditentukan Allah), maka ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah berkehendak menimpakan musibah kepada mereka disebabkan sebagian dosa-dosa mereka. Dan sungguh, kebanyakan manusia adalah orang-orang yang fasik. (TQS. Al-Maidah: 49). []
Wallahua’lam bi ash-shawab
Rujukan
1.        www. Nasional. Kontan.co.id
2.        www.tatanusa.co.id
3.        Sistem keuangan Negara khilafah. HTI press
4.        An-Nizham al-Iqtishadi fi al-Islam
5.        www.hizbut-tahrir.or.id
6.        www.Waspada online.com
7.       www.jkpp.org/.../Keppres_34-2003_JakNasBidPertanahan.
8.       www.kpa.or.id/.../Tap-MPR-No-IX-2001




1 komentar:

Elis's Blog mengatakan...

bagi yang membaca diharapkan komentarnya ya. terimakasih.